Senada dengan Ki Semar, sang sutradara menjelaskan bahwa kontradiksi ini menjadi fondasi utama.
“Gagasan itu lahir dari pertentangan antara logika modern dan kepercayaan tradisional yang masih hidup di masyarakat kita. Tokoh Raka mewakili generasi muda yang rasional dan skeptis, sementara Mbah Djambrong melambangkan ilmu warisan yang sarat nilai dan misteri," ujarnya.
Secara visual, sutradara sengaja menciptakan kontras dramatis. Dunia kampus terlihat terang, bersih, dan modern, berlawanan dengan Desa Kalimati yang digambarkan remang, berasap dupa, dan berpalet warna tanah.
“Komposisi gambar juga sengaja dibuat bertabrakan simetris di kampus, tapi berantakan dan organik di dunia dukun untuk menunjukkan benturan dua cara berpikir itu,” lanjutnya.
Film ini juga diperkaya kehadiran duo sahabat kocak, Boiman dan Fajar, yang justru memantik tawa pada saat-saat paling tegang. Sutradara menjelaskan bahwa kunci meramu komedi di tengah horor terletak pada ritme dramatik yang serius, namun berpusat pada reaksi manusiawi para tokoh yang gagal bersikap serius.
“Kuncinya adalah niat dramatiknya tetap serius, tapi karakternya yang gagal bersikap serius. Horornya harus tetap mencekam, sementara komedinya muncul dari reaksi manusiawi para tokoh, bukan dari lelucon verbal semata,” ujarnya.
Ia menambahkan, teknik editing dan blocking aktor digunakan sebagai alat komedi utama.