img_title
Foto : Indiatimes.com

IntipSeleb – Misteri Non Fungible Token atau NFT makin terkuak. Orang yang tadinya tak mudeng, lantas ingin cari tahu. Setelah Sultan Gustaf Al Ghozali, seorang anak muda Semarang yang menggeluti animasi dan disain grafis bikin iri karena bisa punya uang milyaran gegara NFT.

Bagaimana kisah Ghozali dengan NFT-nya, sudah banyak yang tahu. Kalau tak tahu sebaiknya sudahi membaca tulisan ini. Karena tulisan ini bukan ingin introducing Ghozali dan NFT-nya. Tulisan ini adalah pengetahuan tambahan betapa komplek dan menantangnya berkarya di ranah marketplace NFT.

Jika Kamu merasa kreatif dan sudah menyandang gelar sebagai seorang creator atau pencipta karya, baik perseorangan atau tim, segeralah NFT-kan karya Kamu.

Jika Kamu dan tim Kamu tak ingin makin terbengong-bengong sambil berucap, “Kok bisa, mereka dapat duit dengan cara menjual copy karya doang? Tanpa menyerahkan dan menukar fisik karyanya?”

Kulik NFT, jadikan karya orisinal milik Anda sebagai aset digital dengan stemple NFT di marketplace NFT. Sangat disayangkan, kalau jaman sekarang seorang creator tak tahu cara menyerok cuan lewat NFT. Tetapi, hanya mengandalkan jual-beli fisik seperti yang dilakukan selama ini.

Memang ada kompleksitas dalam ber-NFT. Tapi itu bukan halangan. Jadikan prasyaratnya sebagai tantangan. Bisa dipelajari dan dipahami, kok. Asal mau belajar dan mencoba.

Ghozali itu bukan sekonyong-konyong. Selain dia kreatif karena sekolahnya animator dan disain grafis, dia juga bersusah-susah dulu mengumpulkan photo selfie-nya selama 4 tahun. Dugaannya, ia sebelumnya pasti juga belajar memahami apa maunya NFT di komunitas kreator NFT yang dia ikuti.

Sebab, begitu ada yang mulai membeli karya unik-nya, ada sosok KOL (Key Opinion Leader) dari komunitas penggiat NFT yang jadi Arranger, tukang “goreng”, untuk bareng-bareng membeli karyanya.

Siapa diantara KOL itu? Selebritis Chef Arnold Purnama. Lewat anjuran-nya lah karya Ghozali laris manis dan masalah NFT bikin efek geger masyarakat umum. Sebenarnya NFT itu komplek, kalau gak mau dibilang rumit atau ribet. Kompleksitas NFT itu ada pada faktor teknis dan non teknis.

Teknisnya, pelaku NFT harus melek digital level menengah ke atas. Melek perkembangan teknologi digital yang sudah mengarah pada teknologi blockchain yang melahirkan mata uang kripto. Sebab NFT itu lahir karena adanya teknologi blockchain dan yang ideal transaksinya menggunakan cryptocurrency.

Ada istilah smart-contract, minting, gas-fee, royalty, dan wallet di marketplace NFT. Ini semua akan saya kulik pada tulisan berikut. Termasuk apa istimewanya teknologi blockchain.

Apakah marketplace NFT bisa dilakukan dengan mata uang fiat, semacam rupiah? Bisa-bisa aja. Itu dilakukan oleh Koletible.com, sebuah marketplace NFT lokal yang diantaranya memfasilitasi NFT Indonesian Basket League (IBL).

Kalau di luar negeri dilakukan juga oleh NBA-TopShoot yang menggunakan USD. Namun teknologinya mutlak pakai teknologi blockchain.

Mengapa kebanyakan marketplace NFT transaksinya menggunakan mata uang kripto semacam Ethereum, Solana, Polkadot, Shiba dan Harmony One? Penjelasan singkatnya adalah karena NFT adalah token aset digital yang kepemilikannya ter-encryp dalam kode rahasia kriptografi.

Sama halnya uang kripto. Tidak berfisik tapi disepakati punya nilai dan fluktuasi oleh pembuat dan pemiliknya dalam sistem besar teknologi blockchain yang dikenal tidak terpusat. Dan perlu diingat, NFT itu dihadirkan oleh para penggiat blockchain dan cryptocurrency global. Sehingga NFT dengan transaksi uang kripto dianggap lebih menguntungkan karena pasarnya lebih luas dan dinamis.

Selanjutnya, faktor kompleksitas non teknis NFT menurut beberapa pakar dan sedikit dibumbui pendapat penulis yang kebetulan bergaul dengan komunitas NFT dalam 5 bulan terakhir, diantaranya adalah perlunya kreatifitas. Pelakunya harus kreatif. Jago mendisain karya. Mahir membuat yang unik-unik.

Makanya yang paling pantes punya account NFT itu adalah creator semacam seniman, musikus, photographer, videographer, disainer, dan profesi kreatif lainnya. Atlet dan tokoh dengan segala catatan prestasi dan memorabilianya pun punya kesempatan cuan yang besar di marketplace NFT. Yang dijual adalah extraordinary mereka.

Sebuah badan atau lembaga creative-hub yang memiliki, memproduksi dan atau mengoleksi karya/ obyek/ barang yang punya nilai jual, unik dan langka pun punya kesempatan yang sama untuk eksis di marketplace NFT.

Karya atau obyek NFT itu tak dapat ditukar dan digantikan tapi bisa diperjual-belikan. Makannya disebut Non Fungible Token. NFT harus langka (rarity), terbatas, tidak membosankan. Itulah yang membuatnya bernilai, dibeli dan dikoleksi.

Selain langka, karya dan obyek NFT pun perlu di utilizes. Misal, dengan membeli NFT potongan video 15 menit dokumentasi Gianluigi Buffon menangkal shooting Kurniawan Dwi Julianto di kompetisi Primavera tahun 1996 koleksi ANTV & VIA, pembeli punya kesempatan jalan-jalan ke Italia nonton Juventus bertanding bersama Kurniawan DJ.

Ketika semua copy video yang diminting oleh ANTV & VIA dalam berbagai versi sudah terjual semua. Dan selama pembeli masih menjadi holder atas video NFT tersebut, selama itu pula dia menjadi pemirsa kehormatan ANTV yang dipriotaskan kehadiranya setiap ANTV punya acara dan kegiatan.

Manfaat utilizes ini harus benar-benar diperhitungkan antara harga NFT yang ditetapkan dan harga fasilitas yang diberikan. Intinya harus saling menguntungkan kedua belah pihak.

Selain langka dan perlu utilitas, satu hal yang tak kalah pentingnya agar NFT yang diluncurkan harus disokong oleh komunitas. Creator harus bergabung atau membangun komunitasnya agar nilai NFT-nya terjaga dan terus bergerak.

Komunitas dimaksud adalah komunitas yang bertalian dengan jenis/genre obyek atau karya yang di NFT-kan. Yang paling diuntungkan berkaitan dengan komunitas itu adalah creator, lembaga creator, sosok dan tokoh yang sudah punya reputasi atau pamor.

Sebab biasanya mereka sudah punya penggemar, follower dan fanbase. Tinggal bangun komunitasnya, lalu utilize dengan gamifikasi dan aktifasi yang menggiring mereka untuk BUY NFT yang diminting!

Jangan aneh jika sebenarnya 20 pembeli pertama karya mereka adalah anggota komunitas yang sukarela atau sudah dikondisikan. Ini untuk memancing bahwa karya dan obyek itu diminati dan punya nilai jual.

Jadi, NFT itu memang rindu disain karya dan obyek kita. Namun demikian pola by design dalam cara menjualnya sah-sah aja dilakukan sebagai langkah awal agar tak sepi peminat dan pembeli.

Topik Terkait