img_title
Foto : IntipSeleb/ Wahyu Firmansyah

Jakarta, 1955, Indonesia baru merdeka belum genap 10 tahun. Danti dan suaminya, Sena mendatangi sebuah rumah kos milik Cik Mei. Danti bekerja di perpustakaan sedangkan Sena aktif di sebuah partai. 

Rumah kosan itu hanya punya tiga kamar. Kamar pertama dihuni Bayu, seorang penulis lepas kolom opini dan cerita pendek di surat kabar. Sedangkan istrinya, Lastri adalah seorang biduan. Kamar kedua nantinya akan dipakai Danti dan Sena. Sedangkan kamar ketiga, lebih sering kosong, padahal disewa seseorang bernama Erwan.

Kehidupan kosan berasa sunyi, saat Sena pergi ke luar kota untuk urusan partai. Sedangkan Lastri juga keliling kota untuk bernyanyi di acara kampanye suatu partai. Maklum saat itu bulan-bulan menuju pemilu tahun 1955.

Danti dan Bayu nyaris tidak pernah berbicara. Setiap kali berpapasan di selasar atau ruang makan, keduanya hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Seakan itu batasan mereka berdua. 

Suatu malam, Bayu yang kegerahan membawa mesin tiknya ke ruang tamu. Ternyata di situ duduk Danti tengah mengipas-ngipas kegerahan. Bayu minta maaf dan mau beranjak ke tempat lain. Tapi Danti mencegah, karena udara memang amat panas. 

Ruang tamu adalah ruangan yang sirkulasinya paling baik, udara mengalir deras. Bayu tersenyum kaku dan mulai mengetik. Ia tak sadar, saat diam-diam Danti beringsut pergi.

Bayu menyetorkan tulisannya pada Redaktur surat kabar. Redaktur menganggap tulisan Bayu terlalu dangkal. Tulisannya ditolak. Bayu yang kesal, memutuskan pergi ke perpustakaan untuk mencari referensi. Ia tak menduga bertemu Danti di situ. 

Topik Terkait